Tidak jelas sejak kapan Valentine's day di peringati sebagai hari kasih sayang. Valentine's day sekarang seolah menjadi menu wajib bagi siapa saja yang memadu kasih. Remaja-remaja yang sedang di mabuk asmara sibuk berbelanja bermacam hadiah terbaik bagi pasangan mereka masing-masing. Dunia seolah menjadi milik mereka berdua.
Jikalau Anda sempat berjalan-jalan di mal atau pusat perbelanjaan tentu merasakan betul nuansa itu. Hiasan-hiasan perayaan Imlek dan tahun baru Hijriah telah di ganti dengan simbol-simbol cinta seperti warna merah jambu, lambang hati dan yang sejenisnya. Stasiun televisi berlomba-lomba menghadirkan acara yang khusus di tayangkan untuk Hari kasih sayang. Berapa rupiah yang di keluarkan (di hamburkan ?) orang di setiap bulan februari untuk menunjukan kasih sayang mereka. Begitu komersialnya Valentine's day kini, sampai-sampai tidak banyak lagi orang yang tahu apa sebab Valentine menjadi lambang kasih sayang.
Sebenarnya apa sih makna kasih sayang ? apakah memberi kasih sayang harus menunggu datangnya Valentine. Ataukah justru kita sendiri yang telah terjerebab dalam budaya global tanpa kuasa melakukan proteksi diri ?
Setidaknya ada beberapa legenda mengenai asal usul Valentine's day, diantaranya kisah seorang uskup Romawi yang hidup di abad ke-3 M bernama Valentino. Kaisar Lupercus yang memimpin Romawi mengeluarkan larangan bagi penduduk laki-laki untuk menikah dengan alasan pernikahan menjadikan kaum laki-laki menjadi malas untuk berperang, padahal Sang Kaisar sedang terlibat peperangan besar.
Melihat tindak kesewenangan tersebut, Uskup Valentino secara sembunyi-sembunyi mengundang pasangan yang ingin menikah. Perbuatan ini di ketahui oleh Sang Kaisar, sehingga saat itu juga Valentino di penjara. Dalam masa penahanan tersebut, Valentino tertarik dengan seorang gadis yang masih saudara sendiri dengan orang yang memejarankanya. Sayangnya, sebelum cinta mereka melangkah lebih jauh Sang Kaisar telah menjatuhkan hukuman mati. Sebelum eksekusi hukuman di lakukan, Valentino mengirim surat kepada Asterius dengan di akhiri dengan kata-kata “from your Valentine”. Dari sinilah di duga awal terciptanya hari Valentine. Kemudian sekitar tahun 498 M, Paus Gelasius mendeklarasikan tanggal 14 februari sebagai Valentine day. Tetapi sejak abad ke-16 M, perayaan Valentine's day tidak lagi terikat oleh upacara keagaaman tertentu, yang kemudian timbul menjadi simbol hari kasih sayang masyarakat global.
Bagi sebagian orang peringatan Valentine's day sesungguhnya membingungkan, terutama bagi mereka yang merasa telah mencurahkan sejuta kasih setiap saat. Jikalau kasih sayang hanya di batasi oleh tempo yang sehari saja, jangan-jangan menjadi indikasi bahwa pengorbanan dan kasih yang di luapkan selama ini seolah tak berarti sama sekali.
Sebagai pengejahwantaan dari cinta, kasih sayang bisa di tafsirkan bermacam-macam. Seseorang yang tertarik pada orang lain kita sebut jatuh cinta. Cinta dan kasih sayang merupakan sebuah perasaan, sehingga yang memberi maupun yang menerima akan selalu merasakan sesuatu yang positif dan menyenangkan (positive thinking). Kasih sayang bersifat menyejukan, ia bagaikan sebuah rumah indah dan nyaman di mana para penghuninya betah tinggal di dalamnya. Bahkan sosiolog Lidia T (2001) mengemukan bahwa “Tidak ada yang lebih penting dari kasih”.
Atas dasar itulah, seharusnya ada sisi universal dari Valentine's day yang bisa di gali. Terlepas dari sisi mana ia berasal, Valentine's day harusnya memberikan inspirasi kepada setiap insan untuk lebih mencurahkan kasih sayang kepada sesama. Momen ini merupakan hari yang pantas untuk berkampanye tentang makna kasih. Bukan hanya kepada pacar, pasangan hidup, namun juga kasih orangtua kepada anak-anak , kasih antar masyarakat bahkan kasih pemeritah kepada rakyatnya.
Dalam ruang lingkup keluarga misalnya, keteladanan orang tua dalam mendidik anak-anak menjadi bekal paling berharga. Senyuman, sikap pengertian dan sentuhan sangat di butuhkan anak-anak yang sejak kecil hidup bersama orang tua. Kondisi fisik dan mental mereka masih sangat rentan terhadap kekerasan. Dari sejumlah penelitian menyebutkan bahwa sekitar 60 persen orang tua di dunia kerap kali melakukan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan pendidikan, misalnya dengan menjewer, memukul bahkan mencaci maki anak-anak mereka sendiri. Para orang tua tidak sadar, bahwa secara tidak langsung mereka sendiri telah menanam benih-benih anarkhis yang otomatis terekam secara baik dalam pola pikir anak-anak yang polos dan lugu.
Dalam lingkup yang lebih luas, kasih sayang dapat di wujudkan dengan memberikan perhatian dan solidaritas yang tinggi kepada mereka yang membutuhkan. Bencana alam yang baru saja melanda sejumlah kawasan di negeri ini, mulai gempa bumi di Nabire, Tsunami di Aceh dan Sumatera utara sesungguhnya merupakan terapi kejut bagi manusia yang mulai lupa akan karakter kasih sayang. Lewat, bencana kita semua di ingatkan pada penderitaan dan kematian. Dari proses inilah kemudian kita merasakan penderitaan orang lain tanpa perlu lagi memandang asal-usul, suku, etnis dan agama. Ia mengingatkan kita pada kodrat kasih sayang kemanusiaan.
Ini artinya, mendapatkan kasih sayang merupakan dambaan sekaligus menjadi tanggung jawab buat kita semua untuk mewujudkanya. Sungguh sesuatu yang kontra produktif jika kasih sayang hanya dimakni sehari yang kemudian hilang tanpa bekas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar